Facebook Twitter RSS

Ads 468x60px

Selasa, 28 Februari 2012

Minimnya Nilai Toleransi di Negeri Beradab


         Setiap orang dilahirkan bebas dengan harkat dan martabat manusia yang sama dan sederajat serta dikaruniai akal dan hati nurani untuk hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara dalam semangat persaudaraan. Kalimat yang tercantum dalam Pasal 3 ayat 1 Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia tersebut bermakna bahwa setiap manusia yang terlahir kemuka bumi ini dijamin kebebasan dan kemerdekaannya tanpa ada pihak lain yang berhak untuk mengganggu atau mencabutnya karena itu merupakan anugrah yang langsung diberikan oleh Tuhan seiring dengan keberadaannya didunia.
Isi pasal tersebut linier dengan apa yang tercantum dalam Pasal 1 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) yang berisiskan Semua orang dilahirkan merdeka dan mempunyai martabat dan hak-hak yang sama. Mereka dikaruniai akal dan hati nurani dan hendaknya bergaul satu sama lain dalam persaudaraan. Dan telah disahkan PBB sejak tahun 1948.

Dua Pasal tersebut agaknya cukup untuk menggambarkan betapa urgennya jaminan hidup yang hakiki karena berasal dari Tuhan dan telah ada semenjak manusia berada dalam kandungan. Ketentuan ini tidak hanya berlaku bagi segelintir atau sekelompok manusia dengan berbagai kriteria tertentu, namun hal ini bersifat secara universal atau dengan kata lain berlaku secara menyeluruh kepada setiap insan manusia yang ada didunia tanpa terkecuali. Tidak ada bentuk diskriminatif dalam menjalankan dan menegakkan aturan tersebut. Karena setiap manusia memiliki hak dan kewajiban yang sama dalam menjalankan hidup tanpa memandang ras, suku, agama, atau bahkan bangsa mereka. 

Lebih jauh Pasal 2 DUHAM menyebutkan Setiap orang berhak atas semua hak dan kebebasan-kebebasan yang tercantum di dalam Deklarasi ini dengan tidak ada pengecualian apa pun, seperti pembedaan ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, politik atau pandangan lain, asal-usul kebangsaan atau kemasyarakatan, hak milik, kelahiran ataupun kedudukan lain. Dari penjabaran pasal tersebut semakin jelas bahwa dalam menjalankan aturan tentang hak-hak hakiki manusia tidak boleh ada pengecualian dengan apapun alasannya.

Jika kita spesifikasikan tentang bagaimana penerapan aturan-aturan tersebut di Indonesia, maka kita akan menemui dua realita yang saling kontradiksi dalam penerapannya. Sebab dalam menjalankan kehidupannya masyarakat Indonesia yang dikenal majemuk ini tidak memiliki satu komitmen yang sama dalam menjalankan aturan-aturan tentang keberadaan manusia didunia yang memiliki berbagai latar belakang berbeda. Selain itu pemerintah yang seharusnya memiliki tanggung jawab dalam menjamin dan melindungi hak-hak setiap warga negaranya seolah tidak mampu dalam mengemban amanah yang tercantum dalam UUD 1945 Pasal 28 I ayat 4 yang dengan jelas mengatakan Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah.

Statement diatas bukanlah isapan jempol semata karena sudah menjadi hal yang lumrah bagaimana berbagai pelanggaran Hak-Hak yang bersifat hakiki bagi setiap warga negara Indonesia yang harusnya dilindungi justru tergadai demi kepentingan pihak-pihak tertentu. Tidak hanya Negara yang senantiasa mengabaikan hak warga negaranya, bahkan fenomena yang saat ini santer terjadi juga memperlihatkan bagaimana sesama warga negara Indonesia saling mengabaikan hak-hak sesamanya. Hal ini mengindikasikan bahwa seolah-olah tidak ada kemampuan negara dan kedewasaan warga negara dalam melindungi dan menegakkan Hak Asasi Manusia untuk menjamin kesejahteraan dan keamanan hidup dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dengan menghargai hak orang lain.

Bukankah manusia merupakan makhluk sosial yang saling mengisi dan membutuhkan dalam menjalankan hidupnya. Namun saat ini semua seolah merasa bisa hidup sendiri dengan berbagai kemampuan dan kekuasaan yang dimiliki sehingga tidak perlu untuk menghargai hak-hak orang lain dalam menggapai haknya. Satu hal yang harus dipahami adalah hak berdiri sejajar dengan kewajiban, yang dengan kata lain jika kita menginginkan hak kita terpenuhi maka kita juga memiliki kewajiban untuk menjaga hak orang lain agar tidak terlanggar seiring dengan didapatnya hak kita.

Solidaritas Berbangsa yang Mulai Terkikis

Indonesia dikenal luas sebagai negeri beradab yang selalu mengedepankan musyawarah dan mufakat dalam menyelesaikan suatu masalah yang ada ditengah kehidupan bermasyarakat sesuai amanat nilai dasar Pancasila butir keempat. Selain itu kemajemukan seolah telah mengajari kita bagaimana cara menghargai perbedaan dan keberagaman yang ada untuk saling mengisi antar satu dengan yang lainnya. Bahkan semboyan bangsa juga menjadi pertanda betapa eratnya tali persaudaraan sesama kita walaupun diselimuti dengan berbagai perbedaan yang ada.

Pancasila yang merupakan dasar idiologi bangsa, pandangan hidup bangsa, cita-cita bangsa dan sumber dari segala sumber hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia telah mengisyaratkan tentang karakter dan pola fikir seluruh rakyat Indonesia. Lima butir Pancasila itu menggambarkan bagaimana sebenarnya sifat asli bangsa Indonesia dalam menjalankan kehidupan berbangsa dan saling menghargai berbagai perbedaan. 

Namun realita yang saat ini terjadi sangat jauh dengan apa yang selama ini dicita-citakan. Rasa solidaritas antara pemerintah dengan rakyat atau rakyat dengan sesama rakyat Indonesia seakan-akan telah terkikis seiring dengan berbagai perkembangan zaman yang seolah belum mampu diikuti oleh bangsa Indonesia. Perbedaan yang seharusnya mengajari kita untuk saling menghargai dan menghormati kini seolah menjadi hal yang tabu. Kekuasaan yang dimiliki oleh pemerintah juga sering disalah artikan untuk menindas rakyatnya. 

Masih jelas dalam ingatan kita bagaimana tragedi Mesuji di Lampung yang disebabkan oleh konflik tanah ulayat antara warga dengan perusahaan kelapa sawit swasta yang berakibat terjadinya pembantaian yang diindikasi juga melibatkan pihak keamanan negara yang seharusnya menjadi wadah mediasi antara dua pihak yang bersengketa tersebut.

Belum lagi tragedi Mesuji terselesaikan, muncul masalah baru dengan kasus yang hampir sama dimana tanah kembali menjadi objek yang dipermasalahkan antara warga Bima, NTB dengan perusahaan tambang swasta. Warga yang menolak keberadaan pertambangan diwilayah mereka karena khawatir akan pencemaran ekosistem akibat limbah tambang, melakukan unjuk rasa di Pelabuhan Sape Bima, menuntut pemerintah daerah dapat mencegah pertambangan yang ada diwilayah mereka. Lagi-lagi masalah ini harus diselesaikan dengan cara-cara yang jauh dari karakter yang seharusnya dimiliki bangsa Indonesia. Pihak kepolisian yang harusnya mengawal unjuk rasa warga yang menuntut haknya justru bertindak brutal dengan melepaskan tembakan yang berakibat jatuhnya korban jiwa dalam upaya membubarkan para pengunjuk rasa. Pihak kepolisian sendiri berdalih bahwa tindakan yang dilakukan oleh personilnya sudah sesuai Protap Kapolri Nomor 1 tahun 2010 tentang penanggulangan anarki sehingga mereka berhak untuk melakukan tindakan yang demikian meskipun berujung pada " tewasnya dua pengunjuk rasa."

Diakhir tahun 2011 lalu, saat seluruh rakyat Indonesia berharap tragedi kemanusiaan di Bima menjadi penutup kisah suram pertikaian di Indonesia pada tahun 2011, justru kembali terjadi lagi fenomena yang cukup menyita perhatian kita.

Pembakaran Pondok Pesantren dan sejumlah rumah pengikut Islam Syiah di Sampang Madura yang kali ini dilakukan oleh sesama warga. Alasan dari pembakaran tersebut adalah perbedaan cara beribadah antara pengikut syiah dengan masyarakat lainnya yang juga memeluk agama Islam. Ini merupakan satu pukulan telak bagi kita yang mengaku plural tapi justru melakukan hal-hal brutal karena dipicu perbedaan yang ada. Bukankah insan yang mengaku beragama seharusnya mengedepankan etika dalam menyelesaikan perbedaan yang ada apalagi dengan orang yang seakidah dengannya. Padahal MUI telah mengisyaratkan bahwa Syiah bukanlah aliran sesat dalam agama Islam dan diterima keberadaannya didunia sebagai bagian dari Islam. Kejadian ini seolah membuka kembali lembaran kelam masa lalu di Poso yang juga berlatar belakang masalah agama.

Citra kesantunan rakyat Indonesia yang selama ini menjadi contoh bagi negara lain dalam membina kerukunan umat beragama seakan luntur dengan kejadian yang sangat disayangkan oleh berbagai pihak tersebut. Tak kurang kasus ini mengundang reaksi dari berbagai ormas Islam yang mengatakan kedewasaan masyarakat semakin lama semakin merosot dalam menghadapi perbedaan terutama yang menyangkut keyakinan yang ada. 

Apakah negara kita sudah lupa bagaimana cara berdialog yang santun dan mengedepankan nilai toleransi dalam menyelesaikan permasalahan tanpa harus adanya korban jiwa dan kerusakan yang berakibat pada kerugian yang dialami sesama rakyat Indonesia. Lalu dimana peran Pemerintah yang seharusnya menjadi penengah untuk mencapai kemaslahatan bersama. Sebab andai pemerintah dapat merespon segala bentuk penyimpangan yang terjadi maka hal-hal tersebut barang kali tidak akan terjadi. Kalau sudah begini masih pantaskah kita disebut negara yang berbhineka tunggal ika.

***
Oleh : Anak Indonesia