Segala
puji bagi Allah yang berfirman :
لَا يَنْهَاكُمُ
اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ
مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ
يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ
Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil
terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak mengusir
kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.
(QS al-Mumtahanah : 8)
Dan shalawat serta salam kepada Nabi kita Muhammad
shallallahu alaihi wasallam, yang di utus untuk Manusia dan jin, sebagai rahmat
bagi alam semesta.
Sesungguhnya Allah mengutus Nabi-Nya Muhammad shallallahu
alaihi wasallam sebagai penyeru/da’i bagi seluruh agama dan kepercayaan serta
untuk seluruh umat manusia baik bangsa Arab maupun non Arab agar mengikuti
jalan Allah. Maka di antara mereka ada yang menerima seruan Islam dan ada pula
yang tetap dalam kekafiran.
Setelah Islam mendapatkan kemenangan dan ditaklukkannya
negeri-negeri, maka orang-orang beriman memberikan pilihan kepada penduduk
negeri yang ditaklukkan dengan dua pilihan :
Menyerah dan Masuk Islam
membayar upeti dan dapat hidup bersama muslimin dalam suasana
aman dan dijamin keamanannya.
Maka di antara orang-orang kafir dari kalangan ahli kitab ada
yang memilih hidup bersama kaum muslimin dan tetap dalam kekafirannya. Karena
mereka mengetahui keadilan Islam dan kebaikan ajarannya yang mengajarkan untuk
bergaul baik dengan non muslim.
NABI MENGAJARKAN AGAR MUSLIM BERBUAT BAIK KEPADA NON MUSLIM
Di dalam kitab shahih al-Bukhari, terdapat hadits yang
diceritakan oleh Abdullah bin Amru radhiyallahuanhuma dari Nabi shallallahu
alaihi wasallam, beliau bersabda :
مَنْ قَتَلَ
مُعَاهَدًا لَمْ يَرَحْ رَائِحَةَ الْجَنَّةِ وَإِنَّ رِيحَهَا لَيُوجَدُ مِنْ
مَسِيرَةِ أَرْبَعِينَ عَامًا
“Barangsiapa membunuh muahad2 dia tidak akan mencium bau
surga, padahal baunya dapat tercium sejarak empat puluh tahun.” (Shahih
al-Bukhari 3166)
Hadits di atas merupakan ancaman keras dan peringatan agar
tidak berbuat zalim terhadap orang kafir yang telah mengadakan perjanjian dan
di jamin keamanannya oleh penguasa maupun seorang muslim.
AKHLAK NABI DALAM BERGAUL DENGAN NON MUSLIM
Nabi menjenguk anak Yahudi yang sakit
Dari Anas radhiyallahuanhu :
أَنَّ غُلَامًا
لِيَهُودَ كَانَ يَخْدُمُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَمَرِضَ
فَأَتَاهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعُودُهُ فَقَالَ:
أَسْلِمْ فَأَسْلَمَ
“Seorang anak muda Yahudi yang menjadi pembantu Nabi sakit,
lalu Nabi menjenguknya, kemudian beliau bersabda : Masuk Islamlah!” anak muda
itupun masuk Islam.(Shahih al-Bukhari 6757)
Hadits di atas menunjukkan :
Diperbolehkannya menjadikan orang musyrik sebagai
pembantu/pegawai
Menjenguknya saat dia sakit
Bermuamalah baik dengan non muslim yang terikat perjanjian dengan
muslim
Diperbolehkannya memperkerjakan anak muda belia
Mengajak anak yang muda belia masuk Islam3
Mendoakan orang kafir agar mendapatkan petunjuk
Dari Abu Musa al-Asy’ari radhiyallahuanhu, ia berkata :
كَانَ الْيَهُودُ
يَتَعَاطَسُونَ عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَرْجُونَ
أَنْ يَقُولَ لَهُمْ يَرْحَمُكُمْ اللَّهُ فَيَقُولُ يَهْدِيكُمُ اللَّهُ
وَيُصْلِحُ بَالَكُمْ
Orang-orang Yahudi bersin di sisi Nabi dengan keinginan agar
Nabi mendoakan kebaikan bagi mereka : yarhamukallah (Semoga rahmat Allah
tercurah atasmu), maka Nabi mendoakan : yahdikumullah wayuslihu baalakum
(semoga Allah memberi petunjuk dan memperbaiki keadaan kalian). (Sunan Abu Daud
5152)
Bertetangga dengan baik
Perintah untuk memperhatikan keadaan tetangga dan berbuat
baik kepada mereka adalah perintah secara umum, baik mereka muslim, yahudi atau
nasrani.
Dari Ibnu Umar radhiyallahuanhuma, ia berkata : Rasulullah
shallallahualaihiwasallam bersabda :
ماَزَالَ جِبْرِيْلُ
يُوْصِيْنِي بِالْجَارِ حَتىَّ ظَنَنْتُ أَنَّه سَيُوَرِّثُهُ
“Jibril senantasa memberi wasiat padaku agar memperhatikan
keadaan tetangga, sampai aku mengira dia akan menjadikan tetanggga sebagai ahli
waris4.” (HR al-Bukhari dan Muslim)
Sahabat Nabi lainnya, yaitu Abdullah bim Amru bin Ash radhiyallahuanhuma
memahami perintah untuk berbuat baik pada tetangga ini adalah perintah kepada
tetangga muslim maupun non muslim.
Dari Mujahid, dia berkata :
كُنْتُ عِنْدَ
عَبْدِ اللهِ بْنِ عَمْرُو، وَغُلَامُهُ يَسْلُخُ شَاةً، فَقَالَ : ياَ غُلاَمُ !
إِذَا فَرَغْتَ فَابْدَأْ بِجَارِنَا اليَهُوْدِي، فَقَالَ رَجُلٌ مِنَ الْقَوْمِ
: اليَهُوْدِيُّ ؟ أَصْلَحَكَ اللهُ ! قَالَ : إِنِّي سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلىَّ
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُوْصِي بِالْجَارِ حَتَّى خَشَيْنَا ـ أَوْ رُؤِيْنَا ـ
أَنَّهُ سَيُوَرِّثُهُ
Aku pernah berada di dekat Abdullah bin Amru – dan saat itu
budaknya sedang menguliti kambing – lalu dia berkata : “Wahai anak, jika engkau
selesai menguliti berikan kepada tetangga Yahudi kita!” lalu ada seorang
berkata : “Engkau mau memberi kepada seorang Yahudi? Semoga Allah memperbaiki
keadaanmu!” Abdullah menjawab : Aku mendengar Nabi shallallahu alaihi wasallam
memberi wasiat agar berbuat baik kepada tetangga sampai kami khawatir beliau
menjadikan tetangga sebagai ahli waris.(al-Adab al-Mufrod 128)
Makna kata “tetangga”
Ibnu Hajar berkata : “Tetangga itu meliputi muslim atau
kafir, ahli ibadah atau orang fasik, kawan atau lawan, penduduk negeri atau
orang asing, orang yang bermanfaat maupun yang mengganggu, karib kerabat maupun
bukan, yang dekat rumah maupun yang jauh.”
Mendoakan dan tidak melaknat orang kafir.
Jika kita mengamati akhlak Nabi, beliau tidak pernah melaknat
non muslim yang tidak memerangi Islam dan muslimin, adapun terhadap non muslim
yang memerangi Islam dan muslimin beliau pernah mendoakan laknat atas mereka.
Dari Abu Hurairah radhiyallahuanhu, dia berkata : Ditanyakan
kepada Nabi : Wahai Rasulullah! Doakanlah kebinasaan atas orang-orang musyrik.
Beliau menjawab :
إِنِّي لَمْ
أُبْعَثْ لَعَّانًا، وَإِنَّمَا بُعِثْتُ رَحْمَةً
“Aku tidak di utus untuk melaknat, sesungguhnya aku di utus
sebagai rahmat.”
Bahkan terkadang Nabi membalas orang yang mendzaliminya tanpa
mengucapkan ucapan keji maupun laknat.
Dari Aisyah radhiyallahuanha, ia bercerita : Sekelompok orang
Yahudi menemui Nabi lalu mereka berkata : “Assamu alaika (racun bagimu wahai
muhammad)!” Aisyah berkata : Aku mengerti ucapan jelek itu, lalu aku balas :
“Wa alaikumussam wallaknah (Racun dan laknat untuk kalian)”. Kemudian
Rasulullah shallallahualaihiwasallam bersabda :
مَهْلًا يَا
عَائِشَةُ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الرِّفْقَ فِي الْأَمْرِ كُلِّهِ
“Tenang wahai Aisyah, sesungguhnya Allah menyukai kelembutan
dalam seluruh perkara.”
Aku katakan : Wahai Rasulullah, tidakkah engkau mendengar apa
yang mereka katakan? Rasulullah shallallahualaihiwasallam menjawab :
قَدْ قُلْتُ :
وَعَلَيْكُمْ
“Bukankah aku telah menjawabnya : wa alaikum (dan bagi
kalian)” (HR al-Bukhari dan Muslim)
Membalas penghormatan dan cara menjawab salam orang kafir.
Adapun jika orang Yahudi dan Nashara mengucapkan salam atas
seorang muslim dengan salam yang tidak terdapat padanya doa kejelekan, maka di
syariatkan baginya membalas penghormatan itu. Hal ini berdasarkan firman Allah :
وَإِذَا حُيِّيتُمْ
بِتَحِيَّةٍ فَحَيُّوا بِأَحْسَنَ مِنْهَا أَوْ رُدُّوهَا إِنَّ اللَّهَ كَانَ
عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ حَسِيبًا
Apabila kamu diberi penghormatan dengan sesuatu penghormatan,
maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik dari padanya, atau
balaslah penghormatan itu. Sesungguhnya Allah memperhitungkan segala sesuatu.
(an-Nisa : 86)
Asy-syaikh al-Albani rahimahullah, seorang ulama hadits abad
ini menjelaskan tentang bagaimana cara menjawab salam orang kafir dan apakah
boleh memulai salam terhadap orang kafir.
Setelah menyebutkan hadits Nabi :
لَا تَبْدَؤُوْا الْيَهُودَ
وَلَا النَّصَارَى بِالسَّلَامِ فَإِذَا لَقِيتُمْ أَحَدَهُمْ فِي طَرِيقٍ
فَاضْطَرُّوهُ إِلَى أَضْيَقِهِ
“Jangan kalian memulai Yahudi dan Nashara dengan salam, dan
jika kalian bertemu salah seorang dari mereka di sebuah jalan, maka paksalah
dia ke tempat yang paling sempit.”
asy-Syaikh al-Albani berkata :
Pernah kami bertemu dengan para sahabat kami dari kalangan
ahli hadits, lalu ada yang menyampaikan pertanyaan tentang bolehnya memulai
salam kepada orang kafir, maka saya jawab tidak boleh berdasarkan hadits di
atas.
Lalu salah seorang dari mereka mengungkapkan pendapatnya
tentang hadits itu bahwa larangan pada hadits itu hanyalah jika bertemu orang
kafir di jalan, adapun jika saat datang ke tokonya atau rumahnya maka tidak ada
larangan memulai salam terhadap orang kafir!
Maka terjadilah dialog yang lama, dan pendapat saya saat itu
adalah : sabda Nabi “janganlah kalian memulai salam” adalah mutlak saat bertemu
orang kafir di mana saja dan tidak terbatas hanya di jalan.
Lalu setelah itu saya mendapati beberapa riwayat yang
menguatkan pendapat saya tadi :
Ucapan Suhail bin Abi Shalih :
“خَرَجْتُ مَعَ
أَبِي إِلَى الشَّامِ، فَكَانَ أَهْلُ الشَّامِ يَمُرُّوْنَ بِأَهْلِ الصَّوَامِعِ
فَيُسَلِّمُوْنَ عَلَيْهِمْ، فَسَمِعْتُ أَبِي يَقُوْلُ : سَمِعْتُ أَبَا
هُرَيْرَةَ يَقُوْلُ : سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
يَقُوْلُ ….”فَذَكَرَهُ.
Aku pernah pergi bersama ayahku ke negeri Syam5, dan penduduk
Syam jika melalui tempat peribadatan ahli kitab mengucapkan salam kepada
mereka. Lalu aku mendengar ayahku berkata : Aku pernah mendengar Abu Hurairah
berkata : Aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda
: “Jangan kalian memulai Yahudi dan Nashara dengan salam…” Periwayat hadits
menyebutkan hadits itu. (HR Ahmad dan Abu Daud)
Periwayat hadits itu adalah Abu Shalih, nama aslinya adalah
Dzakwan, seorang tabi’in (murid dari sahabat Nabi Abu Hurairah) yang terpercaya
dalam penyampaian hadits Nabi.
Dalam hadits ini jelas sekali menerangkan bahwa larangan
memulai mengucapkan salam kepada ahli kitab itu mutlak/dimana saja dia berada,
sekalipun dia berada di rumahnya.
Dari Abu Utsman an-Nahdi, ia berkata :
“كَتَبَ أَبُو
مُوْسَى إِلَى دِهْقَانَ يُسَلِّمُ عَلَيْهِ فِي كِتَابِهِ، فَقِيْلَ لَهُ :
تُسَلِّمُ عَلَيْهِ وَهُوَ كَافِرٌ؟! قاَلَ : إِنهُ كَتَبَ إِلَيَّ فَسَلَّمَ
عَلَيَّ، فَرَدَدْتُ عَلَيْهِ”
Abu Musa al-Asyari (sahabat Nabi) menulis surat kepada
Dihqan6 dengan mengucapkan salam padanya. Lalu ditanyakan padanya : “Apakah
engkau mengucapkan salam padanya sedangkan dia seorang kafir?” Abu Musa
menjawab : “Dia menulis surat dan mengucapkan salam kepadaku, maka akupun
membalas salamnya.” (HR al-Bukhari dalam kitab Adabul Mufrod 1101)
Pertanyaan kepada Abu Musa : “Apakah engkau mengucapkan salam
padanya sedangkan dia seorang kafir?” menunjukkan bahwa memulai salam kepada
orang kafir adalah suatu hal yang sudah diketahui dikalangan mereka bahwa hal
itu tidak boleh secara umum, dan bukannya khusus jika bertemu di jalan saja.
Oleh karena itu penanya mengingkari salam yang dilakukan oleh Abu Musa
al-Asyari. Dan Abu Musa pun membenarkan pendapat itu, dan dia menjelaskan bahwa
salam yang dilakukannya adalah sebagai balasan dari salam Dihqan, dan bukan
memulainya.
Dalam surat Nabi kepada Heraclius, Kaisar Romawi.
Nabi tidak memulainya dengan mengucapkan salam padanya. Nabi
mengucapkan :
سَلاَمٌ عَلىَ مَنِ
اتَبَعَ الْهُدَى
“Kesejahteraan atas mereka yang mengikuti petunjuk”
Seandainya larangan dalam sabda Nabi “Jangan kalian memulai
Yahudi dan Nashara dengan salam” adalah secara khusus jika bertemu di jalan,
pastilah Nabi mengucapkan pada Heraclius “assalamualaikum” (semoga
kesejahteraan atasmu).
Dalam hadits saat Nabi menjenguk anak Yahudi, pembantunya :
Dari Anas radhiyallahuanhu : “Seorang anak muda Yahudi yang
menjadi pembantu Nabi sakit, lalu Nabi menjenguknya, kemudian beliau bersabda :
Masuk Islamlah!” anak muda itupun masuk Islam.
Seandainya larangan memulai salam kepada non muslim hanya di
jalan, tentulah Nabi akan memulai salam saat menjenguk anak itu.
Saat Nabi menjenguk pamannya Abu Thalib yang musyrik.
Saat akan meninggal dunia, Abu Thalib dijenguk oleh Nabi.
Namun beliau tidak memulai mengucapkan salam padanya.
SALAM ADALAH SALAH SATU NAMA ALLAH
Maka dari riwayat-riwayat hadits di atas, jelaslah bahwa
memulai salam kepada Yahudi dan Nashara tidak diperbolehkan secara mutlak, baik
saat di jalan, di rumah maupun di tempat lainnya. Jika ada pertanyaan, apakah
boleh memulai menyapa non muslim dengan ucapan selain salam seperti : Bagaimana
keadaanmu pagi ini atau sore ini, atau bagaimana keadaanmu dan semisalnya?
Saya (asy-Syaikh al-Albani) menjawab : Saya berpendapat
diperbolehkan, namun Allah-lah yang lebih mengetahui kebenarannya. Karena larangan
dalam hadits itu berkaitan dengan salam, yaitu salam islami (assalamualaikum),
yang terkandung nama Allah, sebagaimana dalam sabda Nabi :
السَّلاَمُ اِسْمٌ
مِنْ أَسْمَاءِ اللهِ وَضَعَهُ فِي الأَرْضِ فَأَفْشُوْهُ بَيْنَكُمْ
“As-Salam adalah salah satu dari nama Allah, Dia
meletakkannya di bumi, oleh karena itu sebarkanlah “as-Salam” di antara
kalian.” (HR al-Bukhari dalam kitab al-Adab al-Mufrod 989)
Maka, itulah salam Islami yang hendaknya setiap muslim
menyebarkannya.
MENJAWAB SALAM NON MUSLIM DENGAN ‘WA ALAIKUMUSSALAM’
Apakah boleh menjawab salam non muslim dengan jawaban : wa
alaikumussalam?
Asy-Syaikh al-Albani menjawab : Saya menyatakan boleh, dengan
syarat salam yang di ucapkan non muslim di sampaikan dengan fasih dan jelas,
tidak seperti yang dilakukan oleh Yahudi ketika salam kepada Nabi : as-Saam
alaika (racun bagimu). Maka Nabi memerintahkan untuk menjawab dengan jawaban :
wa alaikum (dan bagimu juga).
Maka diperbolehkan menjawab salam semisal jika terpenuhi
syaratnya, yaitu fasih dan jelas. Dan saya menguatkan pendapat ini dengan dalil
berikut ini :
Pertama : Sabda Nabi shallallahualaihiwasallam
إِنَّ الْيَهُودَ
إِذَا سَلَّمَ عَلَيْكُمْ أَحَدُهُمْ فَإِنَّمَا يَقُولُ السَّامُ عَلَيْكُمْ
فَقُولُوا وَعَلَيْكَ
Sesungguhnya orang Yahudi jika salah seorang dari mereka
mengucapkan salam pada kalian, dia mengatakan assam alaika (racun bagimu), maka
ucapkanlah wa alaika (dan bagimu juga). (HR al-Bukhari dan Muslim)
Perintah Nabi untuk menjawab semisal, menunjukkan jika mereka
mengucapkan “Assalaamu alaika” maka di jawab dengan semisal “wa alaikas salam”.
Dan hal ini dikuatkan dengan ayat al-Qur’an di bawah ini.
Kedua : firman Allah :
وَإِذَا حُيِّيتُمْ
بِتَحِيَّةٍ فَحَيُّوا بِأَحْسَنَ مِنْهَا أَوْ رُدُّوهَا
Apabila kamu diberi penghormatan dengan sesuatu penghormatan,
maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik dari padanya, atau
balaslah penghormatan itu. (QS an-Nisa : 86)
Perintah dalam ayat ini adalah secara umum, kepada muslim
maupun non muslim. Sebagaimana dikuatkan pendapat ini dengan hadits dari Ibnu
Abbas dia berkata :
رُدُّوْا السَّلاَمَ
عَلىَ مَنْ كَانَ يَهُوْدِياً أَوْ نَصْرَانِياً أَوْ مَجُوْسِيًا ذَلِكَ بِأَنَّ
اللهَ يَقُوْلُ:” وَإِذَا حُيِّيتُمْ بِتَحِيَّةٍ فَحَيُّوا بِأَحْسَنَ مِنْهَا
أَوْ رُدُّوهَا
“Balaslah salam orang Yahudi atau Nasrani atau Majusi, karena
Allah berfirman : Apabila kamu diberi penghormatan dengan sesuatu penghormatan,
maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik dari padanya, atau
balaslah penghormatan itu.”
Dan dalil terakhir yang menguatkan hal ini, firman Allah :
لَا يَنْهَاكُمُ
اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ
مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ
يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ
Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil
terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula)
mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang
berlaku adil. (QS al-Mumtahanah : 8)
Ayat ini dengan jelas menerangkan perintah untuk berbuat baik
kepada non muslim yang hidup berdamai dan tidak mengganggu orang-orang yang
beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan juga perintah untuk berbuat adil kepada
mereka.
Maka jika salah seorang non muslim mengucapkan salam
“assalamu alaikum” lalu kita hanya menjawabnya dengan ucapan “wa alaika” maka
ini bukanlah bentuk keadilan dan tidak pula kebaikan yang diperintahkan Allah.
Karena kita menyamakannya dengan orang non muslim yang mengucapkan “assaamu
alaika” (racun bagimu). Dan ini merupakan kezaliman, wallahu ‘alam (Allah yang
lebih mengetahui kebenaran hal ini.)
Demikianlah, pendapat asy-Syaikh al-Albani dalam masalah ini.