Facebook Twitter RSS

Ads 468x60px

Senin, 27 Februari 2012

Meretas Lintasan Hari Depan Hmi

Menjelaskan posisi strategis HMI bisa dipakai beberapa pendekatan, semisal pendekatan historis, politis, atau sosiologis. Segenap Pendekatan yang ada adalah absah adanya, setiap pendekatan berhak untuk dipakai sebagai alat analisis yang memungkinkan untuk memeperoleh kesimpulan yang bersifat mendasar dari posisi strategis HMI. 

Namun, segenap pendekatan mau atau tidak mau akan lebih bernilai kontektual jika memasukkan unsur masa depan, karena dari unsur masa depan tersebutlah HMI dapat memperoleh manfaat maksimal dari setiap hasil analisis terhadap HMI, karena terkait dengan masalah keberadaan HMI, yakni bahwa HMI sebagai sebuah organisasi adalah berhak untuk hidup dan cukup berharga untuk tetap diperjuangkan.


Nilai strategis HMI dapat ditatap dari tiga perspektif. Pertama, Bangsa Indonesia tengah tengah dan terus berupaya untuk melakukan proses pembangunan yang merupakan kelanjutan secara kualitatif dan kuantitatif dari tahapan pembangunan sebelumnya. Sebagai kelanjutan problem yang akan menghadang tentu akan semakin berat. Apalagi ada semangat untuk secara kritis melihat hasil-hasil sebelumnya. guna dilakukan perbaikan-perbaikan.

Pada konteks ini, segenap potensi kebangsaan perlu melibatkan diri secara aktif, termasuk HMI sebagai salah satu anak bangsa. HMI dituntut untuk turut menorehkan tulisannya pada bangunan sejarah bangsa ke depan.

Kedua, saat ini umat Islam semakin ditantang untuk memainkan perannya dalam wacana kebangsaan atau proses pembangunan nasional. Semakin masuknya umat Islam dalam percaturan nasional saat ini menuntut peran-peran yang benar-benar kontributif. Sisi lain adalah tantangan untuk mengkonstruksi spiritualitas baru yang bisa menempelkan agama dalam problem-problem riil kemanusiaan yang saat ini susah dijawab oleh ideologi-ideologi besar yang selama ini berkembang. Pada konteks ini, HMI sebagai anak umat dituntut mempertajam perannya untuk berijtihad dalam kerja kemanusiaan maupun konsep-konsep baru yang akan menyebangunkan agama dengan kebutuhan empirik manusia penganutnya.

Ketiga, Secara intern banyak problem organisasi yang mendesak untuk dibenahi sebagai jawaban logis dari dinamika intern maupun pergeseran lingkungan. Problem-problem inilah yang menjadi sebab mengapa HMI terasa mengalami degradasi peran, meski metabolisme organisasi masih berjalan normal.

Ketiga latar tersebut menggambarkan betapa tantangan HMI sangat kompleks. Sementara harapan masyarakat akan kiprahnya tetap besar. Banyak lontaran kritik yang terarah pada HMI, oleh HMI meski dipahami sebagai harapan masyarakat akan kiprah dan kerja-kerjanya. Sebaliknya, bukan justru dipahami sebagai sengatan atau serangan yang hendak mematikan, meski mungkin tujuan ini ada juga. Betapapun, harapan itu mesti dipanggul HMI. Masyarakat terlanjur percaya bahwa HMI mampu menawarkan makna bagi perubahan masyarakat menuju tempat yang lebih baik.
Sementara masyarakat berharap, kondisi intern HMI sendiri mengalami masa-masa sulit. Logikanya kesibukan intern yang terlalu menyita energi acap kali menjadi tembok penghadang terhadap peran-peran eksternalnya. Ini yang menurut beberapa pengamat terjadi pada HMI hari ini. Hal ini harus diakui. Tak ada manfaatnya terus berapologi sekedar untuk mempertahankan gengsi sempit.

Bahwa HMI mempunyai formart tersendiri yang khas untuk menyahuti dinamika eksternal, seperti isu-isu global: demokrasi, HAM dan lingkungan, itu adalah hak HMI sebagai organisasi yang memang berbeda dengan yang lain. HMI berbeda dengan OKP yang lain, dan bahkan dengan forum-forum atau komite-komite. Membandingkan begitu saja justru kurang arif. Tetapi, bahwa HMI dari ini kurang memanfaatkan potensi dirinya untuk melakukan sahutan-sahutan ini mesti diakui. Banyak perangkat organisasi yang bisa didayagunakan untuk itu, tetapi secara riil belum jalan. Misalnya Lembaga Kekaryaan strategis, lantaran bisa menjadi institusi bina profesi dan tangan langsung pengabdian ke masyarakat, masih acap dipandang sebagi kelas dua.

Lantaran itu, ke depan, HMI mesti melakukan beberapa hal sebagai bentuk partisipasinya. Ibarat orang yang kurang sehat, ia mesti menemukan jalan terapinya.

Pertama, melanjutkan reorientasi aktivitas sebagai organisasi kemahasiswaan. Bahka aktivitas-aktivitasnya diaksentuasikan dan diorientasikan pada upaya untuk mengakomodasi kepentingan dan aspirasi mahasiswa. Gerakan untuk mengembalikan basis HMI di kampus perlu diteruskandan dipertajam.

Membangun basis di kampus bukan hanya bermakna bahwa HMI sukses dalam melakukan rekruitmen dan aktif dalam lembaga-lembaga kemahasiswaan, tetapi juga dalam aktivitas-aktivitas HMI benar-benar merupakan penajaman intelektualitas dan profesionalitas. HMI bisa menjadi second campus, yakni menawarkan aktivitas-aktivitas alternatif yang bersifat komplementer. Maka, komisariat sebagai ujung tombak HMI mesti mendapat prioritas perhatian dalam kebijakan organisasi. Dengan demikian, wajah HMI adalah gambaran aktivitas-aktivitas di komisariat, bukan di PB, Badko atau Cabang.

Kedua, memperkukuh independensi sebagai upaya untuk menjaga citra dan jati diri HMI. Perkara ini patut diperhatikan, demi senantiasa menjaga obyektivitas dan kekritisan kerja-kerja HMI. Komitmen HMI adalah pada nilai-nilai kebenaran dan kemanusiaan, dan kerja HMI adalah kerja-kerja kemanusiaan.

Sudah ditegaskan secara organisatoris, HMI tidak mengikatkan diri dan membangun komitmen dengan pihak manapun, dan secara etis komitmennya hanya memperjuangkan nilai-nilai kebenaran. Kukuhnya independensi akan membuka jalan bagi implementasi perjuangan dan kerja kemanusiaan tanpa takut dan sungkan. Tanpa rikuh pada siapa pun termasuk alumninya sendiri. Dekat dengan alumni bagi HMI adalah keharusan, tetapi tanpa memakan sikap kritisnya sebagai mahasiswa.

Ketiga, meningkatkan etik kejuangan anggota dan pengurus. Kualitas etik kejuangan ini dirasa mendasar maknannya guna menangkal merebaknya pragmatisme dalam berorganisasi. Catatan menunjukkan bahwa berorganisasi lebih sebagai saluran kepentingan sesaat dan bukan untuk mempertajam idealisme serta memperjuangkannya. Beberapa tahun terakhir, gejala ini mulai terlihat pada kehidupan organisasi di negeri ini. Fenomena "kursi sentris" adalah salah satu contoh yang sederhana. Bagi kepentingan HMI ke depan gejala ini tidak boleh masuk dan merebak ke tubuh organisasi. Antisipasinya adalah menjaga dan merawat vitalitas idealisme dan etik kejuangan. Berorganisasi bukan untuk mendapat melainkan menjadi.

Orientasi mendapat justru menjadi beban bagi organisasi, dan ini akan semakin memperparah kondisi intern. Mendapat dalam bingkai idealisme adalah resonansi saja dari proses menjadi. Tugas membangun lintasan-lintasan hari depan HMI Menjadi tanggung jawab kita bersama sebagai anggota HMI melalui mekanisme-mekanisme organisasi yang sudah tersedia.



Taken From:


"MENUJU MASYARAKAT MADANI: Pilar Dan Agenda Pembaharuan"


By: Anas Urbaningrum